PENGERTIAN
Benign Prostatic
Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena
hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan
kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars
prostatika
Etiologi
Penyebab yang
pasti dari terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia sampai sekarang belum
diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya
Benign Prostatic Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang
diduga timbulnya Benign Prostatic Hyperplasia antara lain :
1.
Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan
reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar
prostatmengalami hiperplasia.
2.
Ketidak seimbangan estrogen – testoteron
Dengan meningkatnya usia pada
pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan
estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.
3.
Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth
faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan transforming gorwth faktor
beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.
4.
Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5.
Teori stem cell
Sel stem yang meningkat
mengakibatkan proliferasi sel transit.
Anatomi Dan Fisiologi Prostat
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan
mengelilingi / mengitari uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan
dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada
diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar
ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis.
Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih
2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.
Prostat terdiri dari :
·
Jaringan Kelenjar ® 50
- 70 %
·
|
·
Kapsul/Musculer
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung
enzym yang berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi
(penggumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme
otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui
uretra. Sel–sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui
uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10–30% dari ejakulasi. Kelainan
pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan
(prostatitis). Kelainan yang lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik
jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi
tetapi lebih berperanan pada terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainanyang
disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.
PATOFISIOLOGI
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan
mengalami hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di
dalam mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine.
Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi
terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli
berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang
terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel
buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan
pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS
(Basuki, 2000 : 76).
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi
oleh muskulus destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari
miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia
Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta
kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus
destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli
saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi
ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak
jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan
kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya
retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata.
Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari
menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir
sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak
sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah
ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat
mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal.
Proses Miksi
Fase
pengisian
Pves :
< 20 cm H2O
Pup :
60 – 100 cm H2O
Fase ekspulsi :
Isi blader 200 – 300
ml
Mulai terangsang ingin kencing
Reseptor Strecth
Syaraf Otonom PS S2 - 4
Tonus Bladder 60 – 120 cm H2O (ingin kencing)
Up
membuka, sp. Eks masih menutup
BPH P
up meningkat
Kontraksi Detrusor meningkat
Hipertropi
P Ves > P up P
Ves < P up
Fase Kompensata Fase
Decompensata
Kualitas miksi
masih baik Retensio
Urine
TANDA DAN GEJALA
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh
Benign Prostatic Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma
Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Gejala Obstruktif yaitu :
a.
Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan
seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor
buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna
mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b.
Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing
yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan
tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c.
Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir
kencing.
d.
Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber
pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e.
Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan
terasa belum puas.
2.
Gejala Iritasi yaitu :
a.
Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit
ditahan.
b.
Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari
biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c.
Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Derajat Benigna Prostat Hyperplasia
Benign Prostatic Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai
dengan gangguan klinisnya :
1.
Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan
prostat 1–2 cm, sisa urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat +
20 gram.
2.
Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit,
disuria, nucturia bertambah berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah
pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50–100 cc
dan beratnya + 20–40 gram.
3.
Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua,
batas sudah tak teraba, sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3–4 cm, dan
beratnya 40 gram.
4.
Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol
dari 4 cm, ada penyulit keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.
PENATALAKSANAAN
Terapi Medikamentosa
Pada Benigne Prostat Hyperplasia
Terapi ini diindikasikan pada Benigne Prostat Hyperplasia
dengan keluhan ringan, sedang dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi
pembedahan, tetapi masih terdapat kontra indikasi atau belum “well motivated”.
Obat yang digunakan berasal dari Fitoterapi, Golongan Supressor Androgen dan
Golongan Alfa Bloker.
a.
Fito Terapi
a)
Hypoxis rosperi (rumput)
b)
Serenoa repens (palem)
c)
Curcubita pepo (waluh )
b.
Pemberian
obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :
a)
Inhibitor 5 alfa reduktase
b)
Anti androgen
c)
Analog LHRH
c.
Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun
tekanan diuretra-prostatika : Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin
Pembedahan
1.
Trans Uretral Reseksi Prostat : 90-95 %
2.
Open Prostatectomy : 5-10 %
BPH yang besar (50-100 gram) ®
Tidak habis direseksi dalam 1 jam.
Disertai Batu Buli Buli Besar
(>2,5cm), multiple. Fasilitas TUR
tak ada.
Indikasi Pembedahan BPH
ü
Retensi urine akut
ü
Retensi urine kronis
ü
Residual urine lebih dari 100 ml
ü
BPH dengan penyulit
v
Hydroneprosis
v
Terbentuknya Batu Buli
v
Infeksi Saluran Kencing Berulang
v
Hematuri berat/berulang
v
Hernia/hemoroid
v
Menurunnya Kualitas Hidup
v
Retensio Urine
v
Gangguan Fungsi Ginjal
ü
Terapi medikamentosa tak berhasil
ü
Sindroma prostatisme yang progresif
ü
Flow metri yang menunjukkan pola obstruktif
v
Flow. Max kurang dari 10 ml
v
Kurve berbentuk datar
v
Waktu miksi memanjang
Kontra Indikasi
·
IMA
·
CVA akut
Tujuan :
·
Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi
leher buli-buli
·
Memperbaiki kualitas hidup.
Prostatektomi
Ada berbagai macam prostatektomi yang
dapat dilakukan yang masing – masing mempunyai kelebihan dan kekurangan antara
lain :
a.
Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung
kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Pendekatan ini dilakukan untuk
kelenjar dengan berbagai ukuran dan beberapa komplikasi dapat terjadi seperti
kehilangan darah lebih banyak dibanding metode yang lain. Kerugian lainnya
adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen
mayor, seperti kontrol perdarahan lebih sulit, urin dapat bocor disekitar tuba
suprapubis, serta pemulihan lebih lama dan tidak nyaman. Keuntungan yang lain
dari metode ini adalah secara teknis sederhana, memberika area eksplorasi lebih
luas, memungkinkan eksplorasi untuk nodus limfe kankerosa, pengangkatan
kelenjar pengobstruksi lebih komplit, serta pengobatan lesi kandung kemih yang
berkaitan.
b.
Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu
insisi dalam perineum. Cara ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan
sangat berguna untuk biopsi terbuka. Keuntungan yang lain memberikan pendekatan
anatomis langsung, drainage oleh bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker
radikal, hemostatik di bawah penglihatan langsung,angka mortalitas rendah,
insiden syok lebih rendah, serta ideal bagi pasien dengan prostat yang besar,
resiko bedah buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka
bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal. Lebih
jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin
terjadi dari cara ini. Kerugian lain
adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.
c. Prostatektomi retropubik.
Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik dimana
insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus
pubis dan kandung kemih tanpa tanpa memasuki
kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi
dalam pubis. Meskipun darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak
bedah labih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang
retropubis. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung
kemih yang berkaitan serta insiden hemorargi akibat pleksus venosa prostat
meningkat juga osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah periode pemulihan
lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit.
Insisi Prostat Transuretral (TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan
kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi
kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran
kecil (30 gram/kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini
dapat dilakukan di klinik rawat jalan
dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
TURP ( Trans Uretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan
prostat lewat uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan
endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan
alat pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini
memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang
masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta
tidak mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini
dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian
dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan
isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan
granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika (Anonim,FK UI,1995).
Setelah
dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi
balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih.
Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar
bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih.
Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat
berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala
dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup
sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan,
infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan
komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd
(50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH,
maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
Periode Pre Operatif
Mengkaji kecemasan klien, mengoreksi miskonsepsi tentang
pembedahan dan memberikan informasi yang akurat pada klien
·
Type pembedahan
·
Jenis anesthesi ® TUR – P, general / spina
anesthesi
·
Cateter : folly cateter, Continuous Bladder
Irigation (CBI).
Persiapan orerasi lainnya yaitu :
·
Pemeriksaan lab. Lengkap : DL, UL, RFT, LFT, pH,
Gula darah, Elektrolit
·
Pemeriksaan EKG
·
Pemeriksaan Radiologi : BOF, IVP, USG, APG.
·
Pemeriksaan Uroflowmetri ® Bagi penderita yang tidak
memakai kateter.
·
Pemasangan infus dan puasa
·
Pencukuran rambut pubis dan lavemen.
·
Pemberian Anti Biotik
·
Surat Persetujuan Operasi (Informed Concern).
Periode
Intra Operatif
Pengelolaan
Keamanan:
a.
Jaminan
penghitungan kasa, jarum, instrumen dan alat lain, cocok untuk pemakaian.
b.
Mengatur posisi pasien
-
Posisi fungsional
-
Membuka daerah untuk operasi
-
Mempertahankan posisi selama prosedur.
c.
Memasang alat grounding
d.
Menyiapkan bantuan fisik
Pemantauan fisiologis
a.
Mengkalkulasi pengaruh terhadap pasien akibat
kekurangan cairan
b.
Membandingkan data normal dan abnormal dari
cardiopulmonal.
c.
Melaporkan perubahan-perubahan tanda-tanda vital (suhu,
nadi, tekanan darah dan RR.)
Pemantauan
psikologi sebelum induksi dan bila pasien sadar
a.
Menyiapkan bantuan emosional
b.
Melanjutkan observasi status emosional
c.
Mengkomunikasikan status emosional pasien kepada
anggota tim.
Manajemen Keperawatan
a.
Menyelamatkan keselamatan fisik pasien.
b.
Mempertahankan aseptis pada lingkungan yang terkendali
c.
Mengelola dengan efektif sumber daya manusia.
Anggota Tim Fase intraoperatif
a. Tim
bedah utama steril
-
Ahli bedah utama
-
Asisten ahli
bedah
-
Perawat instrumentator.
b. Tim
anestesi:
-
Ahli anestesi atau pelaksana anestesi
-
Circulating nurse
-
Lain-lain
(tehnisi, ahli aptologi dll.)
Tugas perawat instrumentator
a.
Persiapan
pengadaan bahan-bahan dan alat steril yang diperlukan untuk operasi.
b.
Membantu
ahli bedah dan asisten bedah waktu melakukan prosedur
c.
Pendidikan bagi staf baru yang berkualifikasi bedah
d.
Membantu jumlah kebutuhan jarum, pisau bedah, kasa atau
instrumen yang diperlukan untuk prosedur, menurut jumlah yang biasa digunakan.
Untuk pelaksanaan kegiatan yang efektif perawat instrumen harus memiliki
pengetahuan tehnik aseptik yang baik, ketrampilan tangan dan ketangkasan,
stamina fisik, tahan terhadap berbagai desakan, sangat menghayati kecermatan
dan memperhitungkan prilaku yang menuntaskan asuhan pasien yang optimal.
Tugas Perawat Circulating
Perawat keliling memegang peranan dalam keseluruhan
pengelolaan ruang operasi, perawat ini dipercaya untuk koordinasi semua
aktivitas di dalam ruangan dan harus mengelola asuhan keperawatan yang
diperluikan pasien.
Periode Pemulihan Pasca Anestesi
Trauma bedah dan anestesi mengganggu semua fungsi utama
sistem tubuh, tetapi kebanyakan klien mempunyai kemampuan kompensasi untuk
memulihkan homeostasis. Namun klien tertentu berisiko lebih tinggi untuk
mengalami kompensasi tak efektif terhadap efek merugikan dari pembedahan dan
anestesi pada jantung, sirkulasi, pernafasan dan fungsi lain.
Secara Umum Diagnosa Keperawatan yang muncul pada
fase/periode pemulihan pasca anrestesi adalah :
a.
Resiko terhadap aspirasi yang berhubungan dengan
samnolen dan peningkatan sekresi sekunder terhadap intubasi.
b.
Ansietas yang berhubungan dengan nyeri sekunder terhadap
trauma pada jaringan dan syaraf.
c.
Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan samnolen
sekunder terhadap anestesia
d.
Resiko terhadap hipotermia yang berhubungan dengan
pemaparan pada suhu ruang operasi yang dingin.
Kriteria umum syarat pasien dipindahkan dari ruang pemulihan
pasca anestesi ke unit perawatan adalah sbb. :
a.
Kemampuan memutar kepala
b.
Ekstubasi dengan jalan nafas bersih.
c.
Sadar, mudah terbangun.
d.
Tanda-tanda vital stabil
e.
Balutan kering dan utuh
f.
Haluaran
urine sedikitnya 30 ml/jam.
g.
Drain, selang , jalur intravena paten dan berfungsi.
h.
Persetujuan ahli anestesi untuk pindah ke ruangan.
Periode Post Operatif
Post operatif care pada dasarnya sama seperti pasien lainnya
yaitu monitoring terhadap respirasi, sirkulasi dan kesadaran pasien :
1.
Airway : Bebaskan jalan fafas
Posisi kepala ekstensi
Breathing : Memberikan O2
sesuai dengan kebutuhan
Observasi pernafasan
Cirkulasi : mengukur tensi, nadi, suhu tubuh, pernafasan,
kesadaran dan produksi urine pada fase awal (6jam) paska operasi harus dimonitor
setiap jam dan harus dicatat.
Bila pada fase awal stabil,
monitor/interval bisa 3 jam sekali
Bila tensi turun, nadi meningkat
(kecil), produksi urine merah pekat harus waspada terjadinya perdarahan ®
segera cek Hb dan lapor dokter.
Tensi meningkat dan nadi menurun
(bradikardi), kadar natrium menurun, gelisah atau delir harus waspada
terjadinya syndroma TUR ® segera lapor dokter.
Bila produksi urine tidak keluar
(menurun) dicari penyebabnya apakah kateter buntu oleh bekuan darah ®
terjadi retensi urine dalam buli-buli ® lapor dokter, spoling
dengan PZ tetesan tergantung dari warna urine yang keluar dari Urobag. Bila
urine sudah jernih tetesan spoling hanya maintennens/dilepas dan bila produksi
urine masih merah spoling diteruskan sampai urine jernih.
Bila perlu Analisa Gas Darah
Apakah terjadi kepucatan,
kebiruan.
Cek lab : Hb, RFT, Na/K dan
kultur urine.
2.
Pemberian Anti Biotika
ü
Antibiotika profilaksis, diberikan bila hasil
kultur urine sebelum operasi steril. Antibiotik hanya diberikan 1 X pre operasi
+ 3 – 4 jam sebelum operasi.
ü
Antibiotik
terapeutik, diberikanpada pasien memakai dower kateter dari hasil kultur urine
positif. Lama pemberian + 2 minggu, mula-mula diberikan parenteral
diteruskan peroral. Setiap melepas kateter harus diberikan antibiotik profilaksis
untuk mencegah septicemia.
3.
Perawatan Kateter
Kateter uretra yang dipasang pada
pasca operasi prostat yaitu folley kateter 3 lubang (treeway catheter) ukuran
24 Fr.
Ketiga lubang tersebut gunanya :
1.
untuk mengisibalon, antara 30 – 40 ml cairan
2.
untuk melakukan irigasi/spoling
3.
untuk keluarnya cairan (urine dan cairan spoling).
Setelah 6 jam pertama sampai 24 jam kateter tadi biasanya ditraksi dengan
merekatkan ke salah satu paha pasien dengan tarikan berat beban antara 2 – 5
kg. Paha ini tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
Paling lambat pagi harinya traksi harus dilepas dan fiksasi kateter
dipindahkan ke paha bagian proximal/ke arah inguinal agar tidak terjadi
penekanan pada uretra bagian penosskrotal. Guna dari traksi adalah untuk mencegah
perdarahan dari prostat yang diambil mengalir di dalam buli-buli, membeku dan
menyumbat pada kateter.
Bila terlambat melepas kateter traksi, dikemudian hari terjadi stenosis
leher buli-buli karena mengalami ischemia.
Tujuan pemberian spoling/irigasi :
1.
Agar
jalannya cairan dalam kateter tetap lancar.
2.
Mencegah
pembuntuan karena bekuan darah menyumbat kateter
3.
Cairan yang digunakan spoling H2O / PZ
Kecepatan irigasi tergantung dari
warna urine, bila urine merah spoling dipercepat dan warna urine harus sering
dilihat. Mobilisasi duduk dan berjalan urine tetap jernih, maka spoling dapat
dihentikan dan pipa spoling dilepas.
Kateter dilepas pada hari kelima.
Setelah kateter dilepas maka harus diperhatikan miksi penderita. Bisa atau
tidak, bila bisa berapa jumlahnya harus diukur dan dicatat atau dilakukan
uroflowmetri.
Sebab-sebab terjadinya retensio
urine lagi setelah kateter dilepas :
1.
Terbentuknya bekuan darah
2.
Pengerokan prostat kurang bersih (pada TUR) sehingga
masih terdapat obstruksi.
TUR – P
Setelah TUR – P klien dipasang
tree way folley cateter dengan retensi balon 30 – 40 ml. Kateter di tarik untuk
membantu hemostasis
Intruksikan klien untuk tidak
mencoba mengosongkan bladder Otot bladder kontraksi ® nyeri spasme
CBI (Continuous Bladder
Irigation) dengan normal salin ® mencegah obstruksi atau komplikasi lain CBI – P. Folley
cateter diangkat 2 – 3 hari berikutnya
Ketika kateter diangkat timbul
keluhan : frekuensi, dribbling, kebocoran ® normal
Post TUR – P : urine bercampur
bekuan darah, tissue debris ® meningkat ® intake cairan minimal 3000 ml/hari ®
membantu menurunkan disuria dan menjaga urine tetap jernih.
OPEN PROSTATECTOMY
Resiko post operative bleeding
pada 24 jam pertama oleh karena bladder spsme atau pergerakan
Monitor out put urine tiap 2 jam dan
tanda vital tiap 4 jam
Arterial bleeding ®
urine kemerahan (saos) + clotting
Venous bleeding ®
urine seperti anggur ® traction kateter
Vetropubic prostatectomy
Observasi : drainage purulent,
demam, nyeri meningkat ® deep wound infection, pelvic abcess
Suprapubic prostatectomy
ü
Perlu Continuous Bladder Irigation via
suprapubic ®
klien diinstruksikan tetap tidur sampai Continuous Bladder Irigation dihentikan
ü
Kateter uretra diangkat hari 3 – 4 post op
ü
Setelah kateter diangkat, kateter supra pubic di
clamp dan klien disuruh miksi dan dicek residual urine, jika residual urine ±
75 ml, kateter diangkat
Diagnosa Keperawatan Pre Operasi
1.
Retensio urine) berhubungan dengan obstruksi akibat
pembesaran prostat/dekompresi otot detrussor.
2.
Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa/distensi
kandung kencing/kolik renal/infeksi saluran kencing.
3.
Cemas
berhubungan dengan rencana pembedahan dan kehilangan status kesehatan serta
penurunan kemampuan sexual
4.
Dysfungsi
sexual berhubungan dengan obstrusi perkemihan.
5.
Kurang
pengetahuan tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan
pemeriksaan diagnostik berhubungan dengan kurangnya informasi/terbatasnya informasi/informasi
yang keliru
6.
Gangguan
pola tidur berhubungan dengan sering miksi pada malam hari
7.
Resiko
injury dan resiko infeksi berhubungan dengan obstruksi perkemihan
8.
Resiko
infeksi berhubungan dengan pemasangan Dower Cateter yang lama
Diagnosa Keperawatan Post Operasi
1.
PK: perdarahan berhubungan dengan tindakan bedah
(reseksi).
2.
Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya
kontinuitas jaringan akibat reseksi
3.
Cemas berhubungan dengan proses penyakitnya yang
masih dapat kambuh lagi.
4.
Retensi urine berhubungan dengan obstruksi saluran
kateter oleh bekuan darah/klot.
5.
Resiko terjadinya kelebihan volume cairan
berhubungan dengan adanya penyerapan cairan irigasi yang berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,
Linda Jual. (1995). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan
(terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Djanalaeoni
H. (1977). Aseptik dan Antiseptik. Volume 6. Ropanasuri.
Doenges, et
al. (2000). Rencana Asuhan
Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Engram,
Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume I
(terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Hardjowijoto S. Pemeriksaan Sistoskopi. Seksi/Program
Studi Urologi Unair.
Hardjowijoto S. (1999) .Benigna Prostatic Hyperplasia. Airlangga University Press. Surabaya
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I.
(terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Puruhito. (1989). Tata Kerja Kamar Operasi. Surabaya.
Soeparman.
(1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
Soesanto Wibowo, Puruhito, Setiono Basuki. Pedoman Teknik Operasi.
Sumartono, M., Gardjito, W., Hardjowijoto, S. (1983). Reseksi Transuretral Pada Hyperplasia Benigna dari Kelenjar Prostat. Bagian ilmu bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.
mantaph tulisannya...
BalasHapus